Posted by : HIMAPPTA November 30, 2015



Berikut adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpu
Berikut adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpuf
Berikut adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpuf
Berikut adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.d
Berikut adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpuf
Berikut adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpuf
Berikut adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.d
 Berikut merupakan lanjutan Cerbung "Dibalik Dunia Remaja" karya Syaalma D.Q
Belum baca episode 1? Baca episode 1 Disini.

Episode 4

Terakhir kali aku merasa penasaran teramat sangat adalah saat aku pertama kali mengenal Chiara, namun entah kenapa aku merasa penasaran dengan sosok anak sombong yang selalu mencari masalah denganku. Favian. Semenjak pembicaraan singkat kami waktu itu, ia terlihat selalu berusaha menghindar dariku tanpa ucapan ketus dan sapaan menyebalkan yang biasa ia lontarkan. Mengapa aku merasa kehilangan sesuatu?
“Kulihat kau tidak seceria biasanya?” tanya Chiara yang rupanya memperhatikanku sedari tadi.
“Tidak, bukankah aku memang seperti ini?” jawabku balik bertanya.
“Kau seperti memikirkan sesuatu. Dan itu bukan seperti kau yang kukenal.” katanya menggelengkan kepala lalu tersenyum menatapku.
“Apa yang kau rasakan pada Favian?” tiba-tiba tanpa kusadari mulutku melontarkan sebuah pertanyaan aneh. Ya Tuhan, pertanyaan apa itu?!
“Tumben kau menanyakan itu, apakah harus kujawab?” tanyanya kembali dengan wajah yang merona.
“Tentu saja.” Lagi-lagi mulutku bertindak tanpa kuperintah.
“Sepertinya aku menyukainya, bukankah sudah kukatakan? Aku selalu merasa nyaman di dekatnya, dan walaupun kau bilang dia sombong dan menyebalkan, namun dia terlihat menarik bagiku. Selain itu, dadaku sering berdebar lebih cepat dari biasanya. Apakah jawaban itu cukup?” jawabnya lalu menatapku dalam.
Dari matanya, aku tahu semua jawaban itu jujur. Aku hanya dapat mengangguk pelan dan merenungkan jawabannya. Aku tidak merasakan semua yang dirasakan Chiara, namun mengapa aku merasa kehilangan saat orang itu tak seperti biasanya. Apakah kali ini hanya perasaanku yang aneh?
***
“Vit, kurang satu orang lagi, ngajak Avila aja apa ya?” kudengar suara pelan kerumunan murid mencari kelompok di belakangku.
“Gak usah, mending ajak Favian aja!” jawab Vita sangat terdengar jelas oleh telingaku. Aku hanya tersenyum kecut mendengar itu.
“Avila, sudah punya kelompok?” sebuah suara lembut terdengar disampingku. Ternyata dia Firda, aku memang tak pernah menyadarinya. Dia sendirian sepertiku, namun mungkin dia ingin mencari teman dan aku kebalikannya.
“Belum, kamu?” jawabku lalu balik bertanya.
“Sepertinya tak ada yang ingin berkelompok denganku kecuali Mala teman sebangkuku, dan kini ia pun sedang sakit dan tak sekolah. apakah kau mau?” tanyanya menawarkan.
“Bila kau lebih berniat untuk mengajak Favian, silahkan kau ajak sendiri tanpa embel-embel bantuanku.” Jawabku langsung mengingat perlakuan kelompok Vita.
“Tidak, aku benar-benar ingin mengajakmu. Mungkin kalau ia mau bergabung, aku mempersilahkannya tapi yang pasti aku mengajakmu bukan dia.” Jawabnya menggeleng kuat. Kulihat ia jujur.
“Baiklah, aku mau. Tapi kelompok kita baru terdiri dari 3 orang, dibutuhkan satu orang lagi dan aku akan mencarinya.” Jawabku lalu melihat sekeliling, tapi seolah pandanganku kabur, fokusku hanya terlihat pada Favian yang asyik membaca di sebelahku. Baru saja Vita dan temannya mendekati makhluk ini, tapi sepertinya tawaran berkelompok ditolak Favian dengan santainya.
“Hei, bukankah mereka mengajakmu berkelompok, dan kau belum memiliki kelompok. Kenapa kau menolaknya?” tanyaku refleks, Favian segera menghentikan bacaannya dan menatapku.
“Mereka tidak bersungguh-sungguh mencari kelompok belajar. Lagipula mereka pemilih. Kukira kau akan mengajakku berkelompok bersama, bukankah anggota kalian kurang?” jawabnya sangat percaya diri.
“Malas sekali aku mengajakmu. Tapi itu semua tergantung Firda.” Jawabku lalu menatap orang di sampingku.
“Bagaimana?” tanya Favian memasang senyum manisnya.
“Aku tidak memilih siapapun yang menjadi teman sekelompokku. Asalkan dia tidak meracau dan bersungguh-sungguh mau belajar dan membagi ilmu bersama.” Jawab Firda lalu menundukkan kepala. Kulihat ia pasti sama dengan kebanyakan anak perempuan yang menyukai Favian karena tampangnya, tapi kulihat ia hanya sebatas kagum tanpa ada maksud dan perasaaan berlebihan. Aku menyukai orang seperti Firda.
“Baiklah, sudah diputuskan, aku masuk kelompok kalian. Jadi cantumkan namaku.” Ucapnya enteng lalu kembali berkutat pada buku di mejanya. Anak ini!
***
Orang ini memang tak sepenuhnya berubah, namun dia terlihat berusaha menjaga jarak denganku. Seolah ada dinding tipis yang membatasi kami, dan saat aku ingin menerobosnya ia berusaha mempertahankannya. Aku menghormatinya dan aku tak memaksanya untuk terbuka padaku. Namun tetap saja, aku adalah seseorang yang memiliki rasa ingin tahu super tinggi.
“Apakah kau penasaran denganku?” seolah-olah ia bisa membaca pikiran, orang yang tadinya asyik pada dunianya sendiri itu kemudian mencetuskan sebuah pertanyaan mengejutkan.
“Tidak mungkin!” jawabku lalu tertawa kecil.
“Bakilah, aku tidak jadi bercerita.” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
“Tak usah seperti perempuan yang ngambek dan minta dirayu oleh pacarnya. Kalau memang ingin bercerita, ceritalah!” jawabku kesal.
“Apa yang kau lihat dariku?” tanyanya lalu menutup buku bacaannya dan mengeluarkan buku yang lain.
“Kesepian, tapi berusaha kau tutupi dengan keangkuhan.” Jawabku jujur. Memang itulah yang kulihat selama ini, lebih tepatnya yang aku perhatikan. Hei, untuk apa aku memperhatikannya? Sudahlah!
“Kau tahu, tidak semua yang kau lihat mengandung kebenaran. Dan kau adalah orang yang mudah marah dan suka menyangkal sesuatu.” Ucapnya lalu menatap sekilas ke arahku. Sepertinya ia ingin melihat mimik wajahku.
“Sok tahu. Lagipula kenapa kau malah sok meramal kehidupanku? Bukankah kita sedang membahasmu!” jawabku sedikit kesal.
“Baiklah, kembali ke topik. Ada yang ingin kukatakan padamu, namun secara bertahap. Berjanjilah kau takkan menyebarkannya dan bertanya lebih lanjut sebelum aku ingin bercerita.” Ucapnya menatap tajam ke arahku.
“Emm.” Anggukku.
“Sebenarnya……” ucapnya perlahan, terdiam sebentar dan menatap ke arahku. “Aku.. hanya bercanda!” lanjutnya lalu tertawa terbahak-bahak. Rasanya ingin sekali aku menghancurkan wajahnya.
“Tak mungkin semudah itu aku bercerita pada orang lain. Apalagi dengan perempuan cuek sepertimu!” jawabnya setelah tawanya mereda.
“Dasar, manusia menyebalkan!!” rutukku kesal lalu mengambil sebuah buku dari tasku dan membacanya. Mungkin karena wajah kesalku belum bisa kuredakan, itu membuatnya makin senang dan terus menertawaiku.
Tentu saja aku serius, lagipula aku penasaran dengannya dan itu sudah kuungkapkan dengan jelas. Dan kenapa pula ia mempermainkanku?! Dasar makhluk menyebalkan!!
***


  ¯Kuharus jujur, pada perasaanku…
kusuka dirimu kusuka kuberlari sekuat tenaga
kusuka selalu kusuka kuteriak sebisa suaraku
kusuka selalu kusuka walau susah untukku bernafas
tak akan kusembunyikan oogoe diamond!¯
Terdengar lagu dari earphone yang kupasang. Lagu jkt48 yang memang kesukaanku, entah kenapa seakan memaksaku untuk berfikir mengenai semua perasaan yang berkecamuk dalam diriku selama ini. Apakah benar aku menyukai Favian? Tapi tak mungkin, dia makhluk yang sangat menyebalkan. Dan juga, dia orang yang disukai sahabatku. Wajahnya saat memuji Chiara terbayang jelas di benakku. Ada apa ini?!
Tiba-tiba saja ponsel yang kupegang bergetar. Pesan masuk dari Chiara..
“Andai jatuh cinta pasti kan selalu terlihat terdiam melamun...
Pada saat kamu menyukai seseorang, kau tak akan bisa menahannya.”
Vi, lagu jkt48 dari kamu yang ini di baris pertama yang aku tulis,
Mirip dengan kamu sekarang deh.. hayo!! Dan baris kedua aku banget 😍
Tapi sepertinya kamu juga deh 😜

Ya Tuhan, anak ini.. tapi apa benar aku menyukai Favian? Mana mungkin orang yang kami suka sama?? TIDAK BOLEH! Aku tak ingin menyakiti Chiara.
***
Hari ini, berlaku seperti biasa sungguh sulit bagiku. Perasaan dalam diriku masih berdebat hinggga saat ini menentukan antara ‘pengakuan perasaan’ ataukah ‘penolakan dan penyangkalan perasaan’. Setiap kali mengingat Chiara aku selalu berharap untuk tidak pernah menyukai orang itu, namun.. sudahlah!
“Avila!” sebuah suara familiar terdengar dari jauh. Kusipitkan mataku, mencoba fokus pada apa yang kulihat.
“Chi, maaf kemarin tak membalas pesanmu.” ucapku setelah jarakku dan Chiara cukup dekat.
“Santai saja. Tapi ngomong-ngomong sms-ku mengenai lagu itu benar kan?” tanyanya lalu tersenyum jahil.
“Untukmu benar, namun kalau itu ditujukan untukku, saaangat salah.” Jawabku lalu menyilangkan kedua tanganku.
“Hei, bukankah kau sering melamun. Dan menurut pengamatanku kau sedang menyukai seseorang bukan?” tanyanya menyelidik.
“Tidak mungkin!” jawabku cepat.
“Ayolah jujur saja. Lagipula, pada akhirnya kau pasti akan menyerah dan mengakuinya juga. Jadi siapa orang yang kau sukai?” ucap Chiara panjang lalu tersenyum padaku.
“Sudah kukatakan, aku tidak pernah dan tidak akan menyukai orang menyebalkan itu. Dan aku belum ingin memberitahukan siapa orangnya. Karena, kalau kau sudah tahu, kau tidak akan penasaran lagi bukan?” Jawabku lalu tertawa kecil. Sesekali kulihat Chiara melirik ke arah Favian yang sedang asyik membolak-balikkan halaman buku di tangannya.
“Chi, ayo masuk!” ajakku sambil menarik lengan Chiara ke dalam kelas.
“Oh, hai Chi-chan!” sapa Favian ramah saat Chiara sampai di depan tempat duduk kami.
“Emm, hai Favian-kun.” Jawab Chiara pelan sambil menundukkan wajahnya.
“Chi, aku punya novel baru. Mau pinjam?” tanyaku sambil mengeluarkan sebuah novel bersampul plastik dari tas ku.
“Boleh?” tanyanya pelan sambil menerimanya.
“Tentu saja, lagipula aku sudah selesai membacanya.” Jawabku lalu mengusahakan senyum manis.
“Kalian suka baca novel?” tanya orang di sebelahku tanpa melepaskan pandangannya dari buku di tangannya. Sementara Chiara menjawab dengan semangat, aku hanya mengangguk dan dapat sedikit tersenyum melihatnya.
“Ehm, hei, bel sudah berbunyi. Aku kembali ke kelas ya, sampai jumpa!” ucap Chiara menyadari sebuah suara nyaring yang mengganggu suasana menyenangkannya.
“Dah!” jawabku melambaikan tangan ke arahnya.
“Kakakku juga sangat fanatik terhadap novel. Ia tak pernah absen membacanya. Terkadang malah, ia mencoba membuat cerita-cerita remaja yang sangat aneh dan berlebihan. Namun itulah dia.” Ucapnya membuatku terkejut, sepertinya ia membayangkan sesuatu, lalu tersungging sebuah senyuman tipis di bibirnya.
“Kakakmu.. kau punya kakak? Perempuan? Namanya?” tanyaku runtut.
“Felita Nakamura.” Jawabnya singkat.
“Lalu, dimana ia sekarang?” tanyaku menyelidik.
"Mungkin aku terlalu banyak berbicara.” Ucapnya cepat lalu kembali menekuni buku di tangannya dan tak lagi menggubris pertanyaanku. Aneh..
***
Satu hal yang sudah aku tahu dari orang itu. Kakaknya, kubayangkan ia adalah orang yang cantik tak jauh dari adiknya yang tampan. Felita berarti kebahagiaan, kufikir mungkin kakaknya adalah seseorang yang selalu ceria, dan dapat membawa kebahagiaan bagi orang disekitarnya. Avila, apa yang kau lakukan? Bertemu saja belum, dan kau hanya mengetahui namanya, kenapa kau sampai membayangkan dan mengira-ngira menurut fikiranmu!
Chiara belum sempat kuceritakan tentang kakaknya Favian, aku takut ia malah akan terlalu kepo dan banyak bertanya untuk mengorek lebih dalam tentang sang pujaan hatinya. Favian pun terlihat aneh, sepertinya ia salah minum obat dan kelamaan bermain di kuburan. Lihatlah, ia jadi sok ramah dan tersenyum sok manis ke arahku.
“Hei, kesiangan?” benar kan kataku?
“Emm, begitulah. Ada apa denganmu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi.
“Ada yang salah?” ia malah balik bertanya.
“Kelakuanmu sangat aneh. Apakah kau salah sarapan? Atau semalam bertemu wanita cantik yang mengajakmu ke rumahnya lalu kau menginap dan saat kau bangun ternyata kau di kuburan?” tanyaku panjang tak masuk akal.
“Apa yang kau katakan? Aku tak mengerti. Tak ada yang terjadi semlam, dan aku memang tak biasa sarapan.” Jawabnya panjang. Seingatku kalau ingatanku belum rusak, ia selalu menjawab dengan singkat dan ketus.
“Sudahlah, lupakan saja!” jawabku kesal lalu duduk di bangkuku.
Tiba-tiba aku teringat dengan ucapannya kemarin mengenai kakaknya, apakah perlu untuk kutanyakan. Tapi pasti ia akan mengelak dan mengubah topik.
“Sepertinya ada yang ingin kau tanyakan?” tanyanya seolah membaca fikiranku.
“Bolehkah aku bertanya mengenai kakakmu?” tanyaku cepat. Dia hanya diam dan tak menjawab, keheningan ini membuatku kesal. “Ayolah.. satu pertanyaan saja.” Ucapku memelas.
“Baiklah, satu pertanyaan.” Jawabnya dengan wajah datar, berbeda dengan tadi.
“Dimana kakakmu sekarang?” tanyaku.
“Dia sudah berada di tempat yang jauh, dan pastinya tak ada lagi yang bisa bertemu dengannya” jawab Favian panjang, kulihat raut mukanya berubah sedih.
“Kenapa begitu? Apa yang terjadi dengannya?” tanyaku bingung.
“Kau sudah berjanji. Satu pertanyaan.” Jawabnya datar. Satu pertanyaan akan bercabang bila aku yang menanyakannya, dan pastinya aku akan selalu mencari tahu.
***
“Avila, bolehkah aku bertanya?” tiba-tiba kudapati seseorang sudah berdiri di depanku.
“Firda, apa yang ingin kau tanyakan?” jawabku bingung.
“Maukah kau menjadi temanku?” tanyanya pelan sambil menundukkan wajahnya.
“Hei, bukankah kita semua teman? Dan tanpa kau tanyakan kita sudah mengobrol, berkelompok dan tertawa bersama. Itu namanya teman bukan?” jawabku lalu tersenyum ramah. Kulihat ia mengangkat kepalanya dan melihat kepastian dari mataku. Ia terlihat sangat baik dan polos, apakah benar ia tidak mempunyai teman, tapi mengapa?
“Mungkin kau rasa aku adalah seseorang yang aneh dan menanyakan hal yang tidak perlu. Namun bagiku, jawabanmu sangat penting bagiku. Dan sepertinya jawabanmu benar.” Jawabnya lalu tersenyum manis. Ia sangat manis bila tersenyum, kulihat ada seraut kebahagiaan di wajahnya.
“Apakah kau memang seperti ini sebelumnya?” tanyaku pelan.
“Kenapa kau menanyakan itu?” tanyanya, terlihat raut wajahnya berubah.
“Tidak, aku hanya ingin tahu tentangmu. Bukankah teman selalu berbagi?” jawabku kembali tersenyum.
“Lain kali akan kuceritakan, sekarang ada hal yang harus kukerjakan. Terimakasih sudah mau menjadi temanku!” ucapnya lalu berlari menjauhiku.
Berdiam di kelas memang sangat membosankan, apalagi saat tidak ada yang dapat dilihat dan dikerjakan. Kemarin aku sudah mendaftarkan diri menjadi rewalan perpustakaan untuk mengusir kebosanan. Lebih baik sekarang aku meminta shift daripada menganggur di kelas tanpa ada guru yang mengajar.
Syukurlah tidak ada yang meminta shift saat ini, jadi aku bebas dan dapat menjaga perpustakaan sambil memilih novel yang menarik.
“Bisakah kau carikan buku-buku ini?” tanya seseorang menyodorkan selembar kertas kepadaku. Mungkin ia melihat name tag yang tergantung di saku bajuku dan pastinya berfikir aku adalah penjaga perpustakaan.
“Akan kuusahakan, namun sepertinya aku akan lama mencarinya. Karena aku baru hari ini mendapat shift jadinya belum terlalu hafal letak buku. Bagaimana?” jawabku tersenyum ramah pada orang di depanku.
“Tidak masalah, aku juga sedang tidak terburu-buru.” Jawabnya lalu membalas senyumku. Sepertinya ia kakak kelas, dan wajahnya cukup tampan. Avila.. kau ini relawan perpustakaan bukan relawan pencari kakak kelas tampan!!
Perpustakaan di sekolah ini cukup luas dengan koleksi buku yang cukup lengkap, membuat aura kutu buku semakin kental. Akhirnya kutemukan juga letak rak berisi buku-buku referensi. Ada 4 buku yang harus kutemukan, dan letaknya cukup berjauhan. Syukurlah semuanya sudah kudapatkan, mission complete!
“Maaf lama, ini bukunya.” Ucapku sambil menaruh 4 buku berukuran cukup tebal di meja resepsionis.
“Terimakasih. Ngmong-ngomong kau anak kelas satu? Siapa namamu?”
“Ya, namaku Avila, lengkapnya Avila Sanchia.” Jawabku lalu tersenyum semanis mungkin.
“Nama yang cantik, sama seperti orangnya.” Ucapnya tersenyum ramah. Seketika membuat wajahku memanas.
“Terimakasih. Boleh kutahu nama kakak? Sepertinya kelas dua bukan?” jawabku lalu bertanya padanya.
“Biasanya orang-orang akan menganggapku masih kelas satu, tapi kau benar. Namaku Alana, tidak pakai saja.” Jawabnya lalu tertawa. “Berhubung keperluanku sudah selesai disini, ada hal lain yang harus kulakukan. Terimakasih bantuannya, kau gadis yang baik. Sampai jumpa!” ucapnya sambil berlalu menjauhiku.
Ucapannya sedikit membuatku salah tingkah, mulai dari nama yang cantik sampai dengan gadis yang baik. Namun, yang pasti aku tidak menyukainya. Walau kuakui ini merupakan shift pertama-ku yang menyenangkan.
***
“Avila, apa yang kau lakukan tadi? Kulihat kau asyik mengobrol dengan seorang kakak kelas.” Tanya Chiara mengawali percakapan di perjalanan pulang.
“Kau melihatku? Kenapa kau tidak menyapaku!” jawabku berusaha mengalihkan percakapan.
“Hei, jawab pertanyaanku yang tadi. Siapa kakak kelas itu? Jangan-jangan itu adalah orang yang kau suka selama ini?” tanya Chiara menyelidik.
“Namanya Alana, dia memintaku mencarikan buku referensi. Kemarin aku mendaftar menjadi relawan perpustakaan dan hari ini meminta shift pertamaku. Satu lagi, aku baru mengenal orang itu hari ini, tak mungkin aku menyukainya!” jelasku kesal.
“Benarkah? Sepertinya kau terlihat akrab sekali dengan kakak kelas tadi.” Chiara masih tidak percaya.
“Terserah apa yang kau fikirkan. Yang jelas aku sudah mengatakan yang sebenarnya.” Jawabku datar.
“Baiklah, jangan marah. Lagipula aku setuju bila kau menyukainya, sepertinya kak.. siapalah itu baik dan menyenangkan.” Ucap Chiara menghibur.
“Ya ya ya.. apa saja katamu.” Jawabku lelah.
“Kau tahu, ia terlihat seperti orang yang disukai Elika.” Tiba-tiba Chiara menunduk dan terlihat sedih.
“Maksudmu sahabatmu saat SMP?” tanyaku pelan dan ia hanya menjawab dengan anggukkan.
“Kau tahu, mengapa Elika jadi membenciku?” tanyanya tiba-tiba
“Karena ia selalu dibanding-bandingkan denganmu.” Jawabku jujur.
Dia menggeleng, “Bukan hanya itu, aku tahu kami selalu dibanding-bandingkan. Dan Elika selalu menceritakannya, aku tahu ia kesal, tapi bukan hanya itu alasannya.” Ucapnya pelan.
***

Bersambung.. 

Baca cerita lainnya atau baca kelanjutan cerita ini, klik disini.

Comments
1 Comments

{ 1 komentar... read them below or add one }

SIlahkan berkomentar atau berdikusi disini.

- Copyright © 2013 HIMAPPTA - Shiroi - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -


Published By Btemplateseo