Archive for November 2015
Berikut
adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See
more at:
http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpu
Berikut
adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See
more at:
http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpuf
Berikut
adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See
more at:
http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpuf
Berikut
adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See
more at:
http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.d
Berikut
adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See
more at:
http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpuf
Berikut
adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See
more at:
http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.dpuf
Berikut
adalah lanjutan cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Karya Syallma D.Q. - See
more at:
http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-2.html#sthash.vaeVC3rY.d
Berikut merupakan lanjutan Cerbung "Dibalik Dunia Remaja" karya Syaalma D.Q
Episode 4
Terakhir kali aku merasa penasaran teramat sangat adalah
saat aku pertama kali mengenal Chiara, namun entah kenapa aku merasa penasaran
dengan sosok anak sombong yang selalu mencari masalah denganku. Favian.
Semenjak pembicaraan singkat kami waktu itu, ia terlihat selalu berusaha
menghindar dariku tanpa ucapan ketus dan sapaan menyebalkan yang biasa ia
lontarkan. Mengapa aku merasa kehilangan
sesuatu?
“Kulihat kau tidak seceria biasanya?” tanya Chiara yang
rupanya memperhatikanku sedari tadi.
“Tidak, bukankah aku memang seperti ini?” jawabku balik
bertanya.
“Kau seperti memikirkan sesuatu. Dan itu bukan seperti kau
yang kukenal.” katanya menggelengkan kepala lalu tersenyum menatapku.
“Apa yang kau rasakan pada Favian?” tiba-tiba tanpa
kusadari mulutku melontarkan sebuah pertanyaan aneh. Ya Tuhan, pertanyaan apa itu?!
“Tumben kau menanyakan itu, apakah harus kujawab?”
tanyanya kembali dengan wajah yang merona.
“Tentu saja.” Lagi-lagi mulutku bertindak tanpa
kuperintah.
“Sepertinya aku menyukainya, bukankah sudah kukatakan? Aku
selalu merasa nyaman di dekatnya, dan walaupun kau bilang dia sombong dan
menyebalkan, namun dia terlihat menarik bagiku. Selain itu, dadaku sering
berdebar lebih cepat dari biasanya. Apakah jawaban itu cukup?” jawabnya lalu menatapku
dalam.
Dari matanya, aku tahu semua jawaban itu jujur. Aku hanya
dapat mengangguk pelan dan merenungkan jawabannya. Aku tidak merasakan semua yang dirasakan Chiara, namun mengapa aku
merasa kehilangan saat orang itu tak seperti biasanya. Apakah kali ini hanya
perasaanku yang aneh?
***
“Vit, kurang satu orang lagi, ngajak Avila aja apa ya?”
kudengar suara pelan kerumunan murid mencari kelompok di belakangku.
“Gak usah, mending ajak Favian aja!” jawab Vita sangat
terdengar jelas oleh telingaku. Aku hanya tersenyum kecut mendengar itu.
“Avila, sudah punya kelompok?” sebuah suara lembut
terdengar disampingku. Ternyata dia Firda, aku memang tak pernah menyadarinya.
Dia sendirian sepertiku, namun mungkin dia ingin mencari teman dan aku
kebalikannya.
“Belum, kamu?” jawabku lalu balik bertanya.
“Sepertinya tak ada yang ingin berkelompok denganku
kecuali Mala teman sebangkuku, dan kini ia pun sedang sakit dan tak sekolah.
apakah kau mau?” tanyanya menawarkan.
“Bila kau lebih berniat untuk mengajak Favian, silahkan
kau ajak sendiri tanpa embel-embel bantuanku.” Jawabku langsung mengingat
perlakuan kelompok Vita.
“Tidak, aku benar-benar ingin mengajakmu. Mungkin kalau ia
mau bergabung, aku mempersilahkannya tapi yang pasti aku mengajakmu bukan dia.”
Jawabnya menggeleng kuat. Kulihat ia jujur.
“Baiklah, aku mau. Tapi kelompok kita baru terdiri dari 3
orang, dibutuhkan satu orang lagi dan aku akan mencarinya.” Jawabku lalu
melihat sekeliling, tapi seolah pandanganku kabur, fokusku hanya terlihat pada
Favian yang asyik membaca di sebelahku. Baru saja Vita dan temannya mendekati
makhluk ini, tapi sepertinya tawaran berkelompok ditolak Favian dengan
santainya.
“Hei, bukankah mereka mengajakmu berkelompok, dan kau
belum memiliki kelompok. Kenapa kau menolaknya?” tanyaku refleks, Favian segera
menghentikan bacaannya dan menatapku.
“Mereka tidak bersungguh-sungguh mencari kelompok belajar.
Lagipula mereka pemilih. Kukira kau akan mengajakku berkelompok bersama,
bukankah anggota kalian kurang?” jawabnya sangat percaya diri.
“Malas sekali aku mengajakmu. Tapi itu semua tergantung
Firda.” Jawabku lalu menatap orang di sampingku.
“Bagaimana?” tanya Favian memasang senyum manisnya.
“Aku tidak memilih siapapun yang menjadi teman
sekelompokku. Asalkan dia tidak meracau dan bersungguh-sungguh mau belajar dan
membagi ilmu bersama.” Jawab Firda lalu menundukkan kepala. Kulihat ia pasti
sama dengan kebanyakan anak perempuan yang menyukai Favian karena tampangnya,
tapi kulihat ia hanya sebatas kagum tanpa ada maksud dan perasaaan berlebihan. Aku menyukai orang seperti Firda.
“Baiklah, sudah diputuskan, aku masuk kelompok kalian.
Jadi cantumkan namaku.” Ucapnya enteng lalu kembali berkutat pada buku di
mejanya. Anak ini!
***
Orang ini memang tak sepenuhnya berubah, namun dia terlihat
berusaha menjaga jarak denganku. Seolah ada dinding tipis yang membatasi kami,
dan saat aku ingin menerobosnya ia berusaha mempertahankannya. Aku
menghormatinya dan aku tak memaksanya untuk terbuka padaku. Namun tetap saja,
aku adalah seseorang yang memiliki rasa ingin tahu super tinggi.
“Apakah kau penasaran denganku?” seolah-olah ia bisa
membaca pikiran, orang yang tadinya asyik pada dunianya sendiri itu kemudian mencetuskan
sebuah pertanyaan mengejutkan.
“Tidak mungkin!” jawabku lalu tertawa kecil.
“Bakilah, aku tidak jadi bercerita.” Jawabnya tanpa
mengalihkan pandangan dari bukunya.
“Tak usah seperti perempuan yang ngambek dan minta dirayu
oleh pacarnya. Kalau memang ingin bercerita, ceritalah!” jawabku kesal.
“Apa yang kau lihat dariku?” tanyanya lalu menutup buku
bacaannya dan mengeluarkan buku yang lain.
“Kesepian, tapi berusaha kau tutupi dengan keangkuhan.”
Jawabku jujur. Memang itulah yang kulihat selama ini, lebih tepatnya yang aku
perhatikan. Hei, untuk apa aku
memperhatikannya? Sudahlah!
“Kau tahu, tidak semua yang kau lihat mengandung
kebenaran. Dan kau adalah orang yang mudah marah dan suka menyangkal sesuatu.”
Ucapnya lalu menatap sekilas ke arahku. Sepertinya ia ingin melihat mimik
wajahku.
“Sok tahu. Lagipula kenapa kau malah sok meramal
kehidupanku? Bukankah kita sedang membahasmu!” jawabku sedikit kesal.
“Baiklah, kembali ke topik. Ada yang ingin kukatakan
padamu, namun secara bertahap. Berjanjilah kau takkan menyebarkannya dan
bertanya lebih lanjut sebelum aku ingin bercerita.” Ucapnya menatap tajam ke
arahku.
“Emm.” Anggukku.
“Sebenarnya……” ucapnya perlahan, terdiam sebentar dan
menatap ke arahku. “Aku.. hanya bercanda!” lanjutnya lalu tertawa
terbahak-bahak. Rasanya ingin sekali aku menghancurkan wajahnya.
“Tak mungkin semudah itu aku bercerita pada orang lain.
Apalagi dengan perempuan cuek sepertimu!” jawabnya setelah tawanya mereda.
“Dasar, manusia menyebalkan!!” rutukku kesal lalu mengambil
sebuah buku dari tasku dan membacanya. Mungkin karena wajah kesalku belum bisa
kuredakan, itu membuatnya makin senang dan terus menertawaiku.
Tentu saja aku serius, lagipula aku penasaran dengannya
dan itu sudah kuungkapkan dengan jelas. Dan kenapa pula ia mempermainkanku?!
Dasar makhluk menyebalkan!!
***
¯Kuharus jujur, pada perasaanku…
kusuka dirimu kusuka kuberlari sekuat tenaga
kusuka selalu kusuka kuteriak sebisa suaraku
kusuka selalu kusuka walau susah untukku bernafas
tak akan kusembunyikan oogoe diamond!¯
Terdengar lagu dari earphone yang kupasang. Lagu jkt48
yang memang kesukaanku, entah kenapa seakan memaksaku untuk berfikir mengenai
semua perasaan yang berkecamuk dalam diriku selama ini. Apakah benar aku
menyukai Favian? Tapi tak mungkin, dia makhluk yang sangat menyebalkan. Dan
juga, dia orang yang disukai sahabatku. Wajahnya saat memuji Chiara terbayang
jelas di benakku. Ada apa ini?!
Tiba-tiba saja ponsel yang kupegang bergetar. Pesan masuk
dari Chiara..
“Andai jatuh cinta pasti kan selalu terlihat terdiam melamun...
Pada saat kamu menyukai seseorang, kau tak akan bisa menahannya.”
Vi, lagu jkt48 dari kamu yang ini di baris pertama yang
aku tulis,
Mirip dengan kamu sekarang deh.. hayo!! Dan baris kedua
aku banget 😍
Tapi sepertinya kamu juga deh 😜
Ya Tuhan, anak ini.. tapi apa benar aku menyukai Favian? Mana mungkin
orang yang kami suka sama?? TIDAK BOLEH! Aku tak ingin menyakiti Chiara.
***
Hari ini, berlaku seperti biasa
sungguh sulit bagiku. Perasaan dalam diriku masih berdebat hinggga saat ini
menentukan antara ‘pengakuan perasaan’ ataukah ‘penolakan dan penyangkalan
perasaan’. Setiap kali mengingat Chiara aku selalu berharap untuk tidak pernah
menyukai orang itu, namun.. sudahlah!
“Avila!” sebuah suara familiar
terdengar dari jauh. Kusipitkan mataku, mencoba fokus pada apa yang kulihat.
“Chi, maaf kemarin tak membalas
pesanmu.” ucapku setelah jarakku dan Chiara cukup dekat.
“Santai saja. Tapi
ngomong-ngomong sms-ku mengenai lagu itu benar kan?” tanyanya lalu tersenyum
jahil.
“Untukmu benar, namun kalau itu
ditujukan untukku, saaangat salah.” Jawabku lalu menyilangkan kedua tanganku.
“Hei, bukankah kau sering
melamun. Dan menurut pengamatanku kau sedang menyukai seseorang bukan?”
tanyanya menyelidik.
“Tidak mungkin!” jawabku cepat.
“Ayolah jujur saja. Lagipula,
pada akhirnya kau pasti akan menyerah dan mengakuinya juga. Jadi siapa orang
yang kau sukai?” ucap Chiara panjang lalu tersenyum padaku.
“Sudah kukatakan, aku tidak
pernah dan tidak akan menyukai orang menyebalkan itu. Dan aku belum ingin memberitahukan
siapa orangnya. Karena, kalau kau sudah tahu, kau tidak akan penasaran lagi
bukan?” Jawabku lalu tertawa kecil. Sesekali kulihat Chiara melirik ke arah
Favian yang sedang asyik membolak-balikkan halaman buku di tangannya.
“Chi, ayo masuk!” ajakku sambil
menarik lengan Chiara ke dalam kelas.
“Oh, hai Chi-chan!” sapa Favian
ramah saat Chiara sampai di depan tempat duduk kami.
“Emm, hai Favian-kun.” Jawab
Chiara pelan sambil menundukkan wajahnya.
“Chi, aku punya novel baru. Mau
pinjam?” tanyaku sambil mengeluarkan sebuah novel bersampul plastik dari tas
ku.
“Boleh?” tanyanya pelan sambil
menerimanya.
“Tentu saja, lagipula aku sudah
selesai membacanya.” Jawabku lalu mengusahakan senyum manis.
“Kalian suka baca novel?” tanya
orang di sebelahku tanpa melepaskan pandangannya dari buku di tangannya.
Sementara Chiara menjawab dengan semangat, aku hanya mengangguk dan dapat
sedikit tersenyum melihatnya.
“Ehm, hei, bel sudah berbunyi.
Aku kembali ke kelas ya, sampai jumpa!” ucap Chiara menyadari sebuah suara
nyaring yang mengganggu suasana menyenangkannya.
“Dah!” jawabku melambaikan
tangan ke arahnya.
“Kakakku juga sangat fanatik
terhadap novel. Ia tak pernah absen membacanya. Terkadang malah, ia mencoba
membuat cerita-cerita remaja yang sangat aneh dan berlebihan. Namun itulah
dia.” Ucapnya membuatku terkejut, sepertinya ia membayangkan sesuatu, lalu
tersungging sebuah senyuman tipis di bibirnya.
“Kakakmu.. kau punya kakak?
Perempuan? Namanya?” tanyaku runtut.
“Felita Nakamura.” Jawabnya
singkat.
“Lalu, dimana ia sekarang?”
tanyaku menyelidik.
"Mungkin aku terlalu
banyak berbicara.” Ucapnya cepat lalu kembali menekuni buku di tangannya dan
tak lagi menggubris pertanyaanku. Aneh..
***
Satu hal yang sudah aku tahu
dari orang itu. Kakaknya, kubayangkan ia adalah orang yang cantik tak jauh dari
adiknya yang tampan. Felita berarti kebahagiaan, kufikir mungkin kakaknya
adalah seseorang yang selalu ceria, dan dapat membawa kebahagiaan bagi orang
disekitarnya. Avila, apa yang kau
lakukan? Bertemu saja belum, dan kau hanya mengetahui namanya, kenapa kau
sampai membayangkan dan mengira-ngira menurut fikiranmu!
Chiara belum sempat kuceritakan
tentang kakaknya Favian, aku takut ia malah akan terlalu kepo dan banyak
bertanya untuk mengorek lebih dalam tentang sang pujaan hatinya. Favian pun
terlihat aneh, sepertinya ia salah minum obat dan kelamaan bermain di kuburan.
Lihatlah, ia jadi sok ramah dan tersenyum sok manis ke arahku.
“Hei, kesiangan?” benar kan
kataku?
“Emm, begitulah. Ada apa
denganmu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi.
“Ada yang salah?” ia malah
balik bertanya.
“Kelakuanmu sangat aneh. Apakah
kau salah sarapan? Atau semalam bertemu wanita cantik yang mengajakmu ke
rumahnya lalu kau menginap dan saat kau bangun ternyata kau di kuburan?”
tanyaku panjang tak masuk akal.
“Apa yang kau katakan? Aku tak
mengerti. Tak ada yang terjadi semlam, dan aku memang tak biasa sarapan.”
Jawabnya panjang. Seingatku kalau ingatanku
belum rusak, ia selalu menjawab dengan singkat dan ketus.
“Sudahlah, lupakan saja!”
jawabku kesal lalu duduk di bangkuku.
Tiba-tiba aku teringat dengan
ucapannya kemarin mengenai kakaknya, apakah perlu untuk kutanyakan. Tapi pasti
ia akan mengelak dan mengubah topik.
“Sepertinya ada yang ingin kau
tanyakan?” tanyanya seolah membaca fikiranku.
“Bolehkah aku bertanya mengenai
kakakmu?” tanyaku cepat. Dia hanya diam dan tak menjawab, keheningan ini
membuatku kesal. “Ayolah.. satu pertanyaan saja.” Ucapku memelas.
“Baiklah, satu pertanyaan.”
Jawabnya dengan wajah datar, berbeda dengan tadi.
“Dimana kakakmu sekarang?”
tanyaku.
“Dia sudah berada di tempat
yang jauh, dan pastinya tak ada lagi yang bisa bertemu dengannya” jawab Favian
panjang, kulihat raut mukanya berubah sedih.
“Kenapa begitu? Apa yang
terjadi dengannya?” tanyaku bingung.
“Kau sudah berjanji. Satu
pertanyaan.” Jawabnya datar. Satu
pertanyaan akan bercabang bila aku yang menanyakannya, dan pastinya aku akan
selalu mencari tahu.
***
“Avila, bolehkah aku bertanya?”
tiba-tiba kudapati seseorang sudah berdiri di depanku.
“Firda, apa yang ingin kau
tanyakan?” jawabku bingung.
“Maukah kau menjadi temanku?”
tanyanya pelan sambil menundukkan wajahnya.
“Hei, bukankah kita semua
teman? Dan tanpa kau tanyakan kita sudah mengobrol, berkelompok dan tertawa
bersama. Itu namanya teman bukan?” jawabku lalu tersenyum ramah. Kulihat ia
mengangkat kepalanya dan melihat kepastian dari mataku. Ia terlihat sangat baik dan polos, apakah benar ia tidak mempunyai
teman, tapi mengapa?
“Mungkin kau rasa aku adalah
seseorang yang aneh dan menanyakan hal yang tidak perlu. Namun bagiku,
jawabanmu sangat penting bagiku. Dan sepertinya jawabanmu benar.” Jawabnya lalu
tersenyum manis. Ia sangat manis bila tersenyum, kulihat ada seraut kebahagiaan
di wajahnya.
“Apakah kau memang seperti ini
sebelumnya?” tanyaku pelan.
“Kenapa kau menanyakan itu?”
tanyanya, terlihat raut wajahnya berubah.
“Tidak, aku hanya ingin tahu
tentangmu. Bukankah teman selalu berbagi?” jawabku kembali tersenyum.
“Lain kali akan kuceritakan,
sekarang ada hal yang harus kukerjakan. Terimakasih sudah mau menjadi temanku!”
ucapnya lalu berlari menjauhiku.
Berdiam di kelas memang sangat
membosankan, apalagi saat tidak ada yang dapat dilihat dan dikerjakan. Kemarin
aku sudah mendaftarkan diri menjadi rewalan perpustakaan untuk mengusir
kebosanan. Lebih baik sekarang aku meminta shift daripada menganggur di kelas
tanpa ada guru yang mengajar.
Syukurlah tidak ada yang
meminta shift saat ini, jadi aku bebas dan dapat menjaga perpustakaan sambil
memilih novel yang menarik.
“Bisakah kau carikan buku-buku
ini?” tanya seseorang menyodorkan selembar kertas kepadaku. Mungkin ia melihat
name tag yang tergantung di saku bajuku dan pastinya berfikir aku adalah
penjaga perpustakaan.
“Akan kuusahakan, namun
sepertinya aku akan lama mencarinya. Karena aku baru hari ini mendapat shift
jadinya belum terlalu hafal letak buku. Bagaimana?” jawabku tersenyum ramah
pada orang di depanku.
“Tidak masalah, aku juga sedang
tidak terburu-buru.” Jawabnya lalu membalas senyumku. Sepertinya ia kakak
kelas, dan wajahnya cukup tampan. Avila..
kau ini relawan perpustakaan bukan relawan pencari kakak kelas tampan!!
Perpustakaan di sekolah ini
cukup luas dengan koleksi buku yang cukup lengkap, membuat aura kutu buku semakin
kental. Akhirnya kutemukan juga letak rak berisi buku-buku referensi. Ada 4
buku yang harus kutemukan, dan letaknya cukup berjauhan. Syukurlah semuanya
sudah kudapatkan, mission complete!
“Maaf lama, ini bukunya.”
Ucapku sambil menaruh 4 buku berukuran cukup tebal di meja resepsionis.
“Terimakasih. Ngmong-ngomong
kau anak kelas satu? Siapa namamu?”
“Ya, namaku Avila, lengkapnya
Avila Sanchia.” Jawabku lalu tersenyum semanis mungkin.
“Nama yang cantik, sama seperti
orangnya.” Ucapnya tersenyum ramah. Seketika membuat wajahku memanas.
“Terimakasih. Boleh kutahu nama
kakak? Sepertinya kelas dua bukan?” jawabku lalu bertanya padanya.
“Biasanya orang-orang akan
menganggapku masih kelas satu, tapi kau benar. Namaku Alana, tidak pakai saja.”
Jawabnya lalu tertawa. “Berhubung keperluanku sudah selesai disini, ada hal
lain yang harus kulakukan. Terimakasih bantuannya, kau gadis yang baik. Sampai
jumpa!” ucapnya sambil berlalu menjauhiku.
Ucapannya sedikit membuatku salah tingkah, mulai dari
nama yang cantik sampai dengan gadis yang baik. Namun, yang pasti aku tidak
menyukainya. Walau kuakui ini merupakan shift pertama-ku yang menyenangkan.
***
“Avila, apa yang kau lakukan
tadi? Kulihat kau asyik mengobrol dengan seorang kakak kelas.” Tanya Chiara
mengawali percakapan di perjalanan pulang.
“Kau melihatku? Kenapa kau
tidak menyapaku!” jawabku berusaha mengalihkan percakapan.
“Hei, jawab pertanyaanku yang
tadi. Siapa kakak kelas itu? Jangan-jangan itu adalah orang yang kau suka
selama ini?” tanya Chiara menyelidik.
“Namanya Alana, dia memintaku
mencarikan buku referensi. Kemarin aku mendaftar menjadi relawan perpustakaan
dan hari ini meminta shift pertamaku. Satu lagi, aku baru mengenal orang itu
hari ini, tak mungkin aku menyukainya!” jelasku kesal.
“Benarkah? Sepertinya kau
terlihat akrab sekali dengan kakak kelas tadi.” Chiara masih tidak percaya.
“Terserah apa yang kau
fikirkan. Yang jelas aku sudah mengatakan yang sebenarnya.” Jawabku datar.
“Baiklah, jangan marah.
Lagipula aku setuju bila kau menyukainya, sepertinya kak.. siapalah itu baik
dan menyenangkan.” Ucap Chiara menghibur.
“Ya ya ya.. apa saja katamu.”
Jawabku lelah.
“Kau tahu, ia terlihat seperti
orang yang disukai Elika.” Tiba-tiba Chiara menunduk dan terlihat sedih.
“Maksudmu sahabatmu saat SMP?” tanyaku
pelan dan ia hanya menjawab dengan anggukkan.
“Kau tahu, mengapa Elika jadi
membenciku?” tanyanya tiba-tiba
“Karena ia selalu
dibanding-bandingkan denganmu.” Jawabku jujur.
Dia menggeleng, “Bukan hanya
itu, aku tahu kami selalu dibanding-bandingkan. Dan Elika selalu
menceritakannya, aku tahu ia kesal, tapi bukan hanya itu alasannya.” Ucapnya
pelan.
***
Bersambung..
Baca cerita lainnya atau baca kelanjutan cerita ini, klik disini.
Cerbung "Dibalik Dunia Remaja" Episode 4
Berikut adalah sebuah cerita bersambung yang dikarang oleh rekan kita, Syaalma D.Q yang bertemakan kehidupan remaja.
- See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-1.html#sthash.OGgVP8cd.dpuf
Berikut adalah sebuah cerita bersambung yang dikarang oleh rekan kita, Syaalma D.Q yang bertemakan kehidupan remaja.
- See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-1.html#sthash.OGgVP8cd.dpuf
Berikut adalah sebuah cerita bersambung yang dikarang oleh rekan kita, Syaalma D.Q yang bertemakan kehidupan remaja.
- See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-1.html#sthash.OGgVP8cd.dpuf
Berikut adalah sebuah cerita bersambung yang dikarang oleh rekan kita, Syaalma D.Q yang bertemakan kehidupan remaja.
- See more at: http://himappta.blogspot.co.id/2015/11/cerbung-dibalik-dunia-remaja-episode-1.html#sthash.OGgVP8cd.dpufBelum baca episode 1 dan 2? Baca episode 1 Disini, episode 2 Disini
“Silahkan
perkenalkan dirimu.” Kata bu Ratna mempersilahkan si anak baru.
“Baiklah,
perkenalkan namaku Favian Nakamura. Pindahan dari Surabaya, memang aku memiliki
keturunan Jepang dari ayahku. Namun, ibuku asli Surabaya. Ada
pertanyaan?” tanyanya mengakhiri perkenalan.
“Baiklah,
kalau tidak ada pertanyaan. Aku akan memberitahukan kepada kalian sebelum
kalian menyesal ataupun kecewa. Aku tidak terlalu membutuhkan bantuan kalian, namun aku
akan tetap menghargainya.”
Ugh, sombong sekali dia. Awas saja kalau dia
membutuhkan bantuanku! Batinku.
“Baiklah
Favian, silakan cari tempat yang kosong. Avila, kamu duduk sendiri?” tanya bu Ratna
ke arahku.
“Ya
begitulah, untuk saat ini saya dikhianati oleh teman sebangku saya. Sehingga,
saya menjadi penyendiri entah untuk berapa lama.” Jawabku pada bu Ratna,
sengaja menyindir orang yang duduk 2 bangku di belakangku.
“Kalau
begitu, untuk saat ini aku tak akan membuatmu menjadi penyendiri lagi, karena Favian
akan duduk di sebelahmu.”ucap bu Ratna memberi kode pada si anak baru itu agar
menghampiriku.
Terlihat
dari mana-mana berbagai variasi tatapan. Mulai tatapan mengejek dari para anak
laki-laki, dan tatapan iri yang berasal dari para perempuan, yang mungkin
tersihir ketampanan si anak baru. Tapi tetap saja, aku malah kesal melihat
wajah sombongnya.
***
Sekarang
memang sudah waktunya istirahat. Namun, tugas yang menumpuk memaksaku untuk
tetap tinggal di kelas dan duduk diam menyelesaikan semuanya.
“Lo gak
istirahat?” tanya si sombong itu membuyarkan konsenterasiku.
“Emang
kenapa? Penting untuk anda?” jawabku balik bertanya.
“Ada Avila?”
sebuah suara dari arah pintu terdengar familiar. Segera ku beranjak bangkit dan
mendekati pintu kelas.
“Ada apa
Chi? Ayo masuk!” ajakku lalu menarik tangannya ke dalam ruangan kelas.
“Tadi aku
ketemu Vina, trus nanya kamu dimana. Katanya kamu masih di kelas, jadi aku
kesini. Ibuku membuatkan bekal untuk kita, walaupun hanya makanan ringan
setidaknya dapat mengganjal perut.” Jawabnya panjang sambil menyerahkan sebuah
kotak bekal ke arahku.
Sepertinya dia tidak menyadari keberadaan si
anak baru ini. Fikirku sambil melirik orang di sebelahku.
“Makasih Chi. Kamu tahu aja kalau aku sedang
lapar. Ayo makan bersama!” ucapku sambil membuka kotak bekal dan tersenyum senang
melihat isi kotak bekal yang menggiurkan.
“Kalian
tidak mengajakku?”celetuk seseorang tanpa fikir panjang. Menyebalkan!
“Dia siapa?”
bisik Chiara bingung.
“Emm, dia
Favian Nakamura anak baru dari Surabaya, ayahnya orang Jepang. Dan satu lagi,
manusia di sebelahku ini orang yang sangat tidak ingin kamu kenal!” Jawabku
menekankan kalimat terakhir sambil asyik memilih kue.
“Kenapa?”
tanya Chiara bingung.
“Orang ini
sangat sombong dan menyebalkan. Jangan tertipu pada wajahnya!” jawabku
memperingatkan.
“Mungkin itu
hanya perasaanmu saja. Sepertinya dia terlihat baik.” Ucap Chiara tak percaya
padaku.
Jangan-jangan orang ini menggunakan susuk
sehingga orang-orang menjadi tidak waras bila dekat dengannya. untung saja
imanku kuat..
“Ayo,
silahkan mencoba kalau mau.” Kata Chiara sambil menyodorkan kotak bekalnya pada
si anak baru.
“Ya baiklah,
karena aku belum tahu letak kantin, jadi aku akan menerima kebaikanmu.” Jawab
si anak baru masih angkuh!
“Oya,
setahuku kalau orang Jepang memanggil nama menggunakan akhiran–san, bukan?
Nakamura-san?” tanya Chiara sambil tersenyum ramah.
Chiara sadarlah!! Batinku mengkhawatirkan
reaksi Chiara.
“Ya
begitulah.” Jawabnya cuek. “Siapa namamu?” lanjutnya tiba-tiba menatap ke arah
Chiara.
“Chiara
Aneila.” Jawabnya sambil tersenyum manis.
“Chi-chan?”
ucap si anak baru membalas senyum manis Chiara.
Ternyata ia cukup tampan. Avila apa yang kau
fikirkan?! Dia itu si makhluk sombong super!!
“Setahuku,
-chan untuk teman perempuan yang kau anggap akrab bukan? Apakah bolehku
panggil Favian-kun?” tanya Chiara makin senang.
“Sebenarnya
kita baru mengenal, dan itu agak aneh. Tapi terserah kau saja.” jawab si anak
baru kembali cuek.
Mau tak mau
kami harus menghabiskan jam makan siang bersama si anak baru super sombong ini.
Namun, ada yang terlihat aneh, malah sangat aneh dari sikap Chiara…
***
“Pulang
sendiri?” tanya si anak baru dengan wajah yang tetap menyebalkan.
“Bukan
urusan anda!” jawabku lalu berjalan meninggalkannya.
“Jutek amat,
awas gak ada yang naksir.” Ucapnya iseng sambil tertawa meledek.
Orang ini!!Membuatku geram saja.Ya Tuhan, baru saja kenal sudah berani ngajak
ribut. Mau aku jutek, aku ramah, memangnya apa urusannya dengan dia coba?
Menyebalkan sekali!!
“Avila!!”
Chiara ternyata sudah terlihat di ujung mataku sambil melambaikan sebelah
tangannya ke arahku.
“Baru keluar
kelas?” tanyanya setelah jarak kami cukup dekat.
“Emm.”
Jawabku menggumam sambil mengangguk mengiyakan.
“Ayo
pulang!” ajaknya sambil menarik tanganku ke arah gerbang.
“Eh, Chi-chan?”tiba-tiba
suara sengak terdengar di belakang kami.
“Favian-kun?”
Chiara langsung berbalik menghadap arah suara tadi, dan terlihat rona di
pipinya begitu menyadari orang itu adalah si anak baru super sombong. Kenapa dia
disini? Ngajak ribut lagi? Refleks, mataku membulat.
“Pulang
bareng dengan si jutek itu?” tanyanya sambil melirik ke arahku. Kurang ngajar, siapa yang ia sebut jutek?!
“Maksudmu
Avila?” tanya Chiara terlihat bingung.
“Siapa lagi
menurutmu?” jawabnya lalu tertawa mengejek.
“Mungkin
yang anda maksud saya?” tanyaku membuat senyum manis yang terkesan mengerikan.
“Ternyata
kau peka!” jawabnya lalu tertawa.
“Kalau itu
saya, apakah salah bila saya bersikap jutek pada orang yang super sombong
seperti anda?” tanyaku sedikit menyindirnya. Chiara terlihat tidak mengerti
dengan situasi ini.
“Tidak bisakah
kamu sedikit beramah tamah atau mencoba bersikap manis seperti temanmu itu?”
ucap si anak sombong dengan ekspresi datar lalu berjalan melewati Chiara yang
tentu saja wajahnya memerah seperti tomat. Ada
apa dengan anak itu?
***
Hampir
seminggu si anak sombong itu bersekolah disini, dan itu membuat Chiara terlihat
makin sering mengunjungi kelasku. Sebenarnya aku cukup merasa risih duduk
sebangku dengan seorang anak laki-laki. Namun kapasitas bangku yang menjadi pas
saat aku duduk dengannya membuat semua orang malas meminta tambahan bangku. Ah
biarlah, lagi pula yang disebelahku ini kan makhluk astral bukan seorang manusia.
“Avila,
biologi kita satu kelompok yuk!” tiba-tiba Vita sudah berdiri di depanku sambil
tersenyum sok manis.
“Ada angin
apa ngajak gue kelompokkan?” tanyaku ketus sambil duduk mengambil sebuah buku
jilid dari dalam tasku.
“Gak
apa-apa, cuma pengen aja, memang gak boleh?” jawabnya sambil sedikit membuat ekspresi
kesal. Menurutku ia malah ingin terlihat seperti gadis manja yang marah pada
pacarnya.
“Lihat nanti
saja, kalau mood gue ikut.” Jawabku cuek sambil membolak-balik halaman buku di
tanganku tanpa sedikit pun menoleh pada Vita.
“Emm, tapi
kita masih kekurangan anggota. Bagaimana kalau kamu ajak Vian?” ucapnya dengan
suara memohon seperti berharap dapat hadiah dari kebaikan Santa.
“Vian
siapa?” setahuku aku tak pernah dekat dengan orang yang bernama Vian. Lagipula
tidak ada nama itu di kelas kami.
“Favian,
Favian Nakamura. Teman sebangkumu sekarang.” Jawab Vita sambil melirik ke arah
orang di sebelahku. O, jadi ini maksudnya
mengajakku sekelompok dengannya.
“Tanya saja
dengan orangnya, mau apa tidak dia.” Jawabku sekenanya.
“Baiklah,
keputusannya aku tunggu besok!” tiba-tiba anak itu sudah berlari kecil
menjauhiku. Dasar sok imut!
Ternyata
makhluk spesies super sombong ini ada saja yang suka. Mungkin sepertinya juga
sahabatku, Chiara. Benar-benar orang ini!
“Eh makhluk
astral, ada yang ngajakin kelompokan biologi. Mau gabung gak?” tanyaku ketus
sambil sedikit melirik ke arah makhluk di sampingku.
“Ketus
banget sih mbak. Lagian kalo gue makhluk astral gimana lo bisa ngeliat gue?”
dia malah balik bertanya dan menghentikan aktifitasnya lalu menatapku.
“Gue kan
punya indera ke-enam!” Jawabku lalu kembali menekuni buku di mejaku. Jujur saja,
aku sedikit merasa aneh di tatap seperti itu.
“Sebenernya
kenapa sih lo itu judes sama gue?” tanyanya masih lekat menatapku.
“Gue gak
suka sok ramah sama orang yang menurut gue gak pantes di ramahin. Kayak lo!”
jawabku lalu bangkit dan meninggalkannya. Ada apa denganku? kenapa aku merasa aneh
begini?!
***
“Avila, kamu
ngapain?” tanya Chiara mendekatiku.
“Apalagi
selain baca buku.” jawabku sambil menunjukkan buku di tanganku.
“Kau tidak terlihat seperti sedang membaca buku.” jawab Chiara sambil
tersenyum simpul.
“Tentu saja aku membaca.” Kataku sambil tertawa kecil.
“Kalau begitu, berarti kau sangat hebat. Mampu membaca terbalik.”
Katanya lalu mengambil buku pada rak di depan kami.
“Baiklah aku kalah. Aku mengaku. Sebenarnya, aku sedang mencoba menyendiri
dan berfikir.” Jawabku murung.
“Kenapa?” tanyanya bingung
“Ada seseorang menyebalkan yang membuat perasaanku aneh dan tak menentu.
Lebih tepatnya kebingungan.” Jawabku mengingat makhluk astral itu.
“Mungkin saja kau menyukainya, namun kamu belum mempercayai dan
menyadarinya.” Ucap Chiara ringan dan tersenyum
manis seperti biasa.
“Tidak mungkin, dia sungguh menyebalkan, selalu mencari masalah,
dan...aneh!” kataku kesal lalu menjatuhkan kepalaku ke meja.
“Sudahlah, tenangkan saja dulu dirimu. Jangan bersikap terlalu ketus dan
cobalah buka hatimu. Mungkin saja apa yang kukatakan benar. Lagipula dengan
siapapun kamu selalu terlihat cuek.” ucap Chiara lembut.
“Baiklah, akan kucoba.” Jawabku pelan.
“Ngomong-ngomong, bagaimana pendapatmu tentang Favian? Sepertinya aku
menyukainya!” tiba-tiba suara Chiara terdengar gembira. Ya Tuhan, orang yang tadi kumaksud itu dia! Batinku.
“Biasa saja.” jawabku pendek menyembunyikan keterkejutanku. Wajah
Chiara terlihat jelas ingin mengutarakan semua kelebihan Favian, dan aku tahu
kelanjutannya akan bagaimana.
***
Kemarin merupakan hari yang sangat panjang dan melelahkan. Mungkin hari ini
akan sama dengan kemarin, namun aku tetap berharap tentang keajaiban. Entah mengapa kelas hari ini terlihat sepi dan damai. Kemana
semua orang yang biasanya sibuk dan tak pernah bisa mengistirahatkan mulut
melreka? Mungkinkah hari ini mereka kesurupan setan pendiam secara massal? Ya Tuhan, fikiranku kacau!
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku bingung melihat Favian
yang tumben-tumbennya berkutat pada buku pelajaran. Matematika lagi!
“Tidak bisa melihat? Jelas-jelas gue baca buku!”
jawabnya ketus seperti biasa. Namun ada yang terasa janggal bagiku.
“Baiklah, maaf mengganggu. Silahkan lanjutkan bacaanmu
yang menyenangkan!” jawabku kesal segera menaruh tas dan keluar dari kelas aneh
ini.
“Avila, kamu mau kemana?” tiba-tiba ada yang
memanggilku dari belakang. Segera kutoleh, dan kudapati Chika sudah berada
tepat di depanku.
“Tidak kemana-mana, hanya ingin berfikir jernih.”
Jawabku dengan tampang bodoh.
“Kau terlihat tenang sekali, sepertinya kamu
benar-benar merasa santai ya?” ucap Chika sambil memperhatikan tingkahku.
“Biasa saja, memangnya ada apa? Seperti mau ada perang saja,
aku harus sibuk begitu?” ucapku lalu memandang Chika dengan tatapan menyelidik.
Sekali lagi kuedarkan pandanganku ke seluruh kelas, dan kudapati mereka semuanya
terdiam tenang sambil memegang dan membaca buku.
“Kau lupa, hari ini kita akan ulangan matematika 20
paket soal!” jawab Chika histeris sambil memegang wajah dengan kedua tangannya.
“Ya Allah aku lupa!!” ucapku kaget lalu bergegas
kembali ke bangkuku dan sibuk mencari buku matematika yang tersimpan manis
dalam tasku.
***
Ya Tuhan, ulangan tadi bikin otakku hampir meledak.
Untung saja aku bisa menjawab setidaknya emmm.. berapa soal ya?? Kira-kira 5
soal dari 15 soal yang ada di kertas ulangan tadi. Ya ampun, aku memang hebat!
“Ngelamunin apa lo?” suara ini, pasti si makhluk
astral!
“Gak ngelamun kok, Cuma menerawang.” Jawabku
seolah-olah tak memperdulikannya.
“Maaf, kalo kemaren buat lo marah. Lo sensitif banget
sih, kayak orang lagi PMS!”
Ini orang mau minta maaf apa ngajak berantem sih?
“Emmm.” Jawabku tak jelas
“Avila, sedang apa kamu dengan..” Chiara tiba-tiba
sudah berdiri di depanku dan tidak melanjutkan kalimatnya.
“Hei, emm Chiara!” ucap Favian setelah berdiam sejenak.
“Apakah aku mengganggu?” tanya Chiara pelan
“Tentu saja tidak, justru aku senang dengan
kedatanganmu.” Jawabku lalu menepuk-nepuk bangku di sampingku.
“Tidak usah, terimakasih. Aku hanya ingin mengembalikan
buku catatanmu.” Jawab Chiara tersenyum lalu mengulurkan sebuah buku bersampul
cokelat milikku.
“Tidak mau mengobrol?” tanyaku setelah menerima kembali
buku itu.
“Tidak, aku sedang buru-buru. Lain kali saja ya!”
ucapnya lalu berlari menjauhiku dan Favian.
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening dan
mencekam. Seolah tak ada yang berani mengeluarkan suara dan memulai percakapan.
Tunggu, lagipula siapa yang mau mengobrol dengannya?!
“Lo itu sombong, tapi kenapa gue ngeliat lo kesepian?”
tiba-tiba aku bersuara tanpa kusadari. Orang yang berada di sampingku terlihat
kaget dan menoleh menatapku, namun beberapa detik kemudian ia memalingkan
wajahnya.
“Gue gak mungkin kesepian! Tapi sekeras apapun gue
pungkiri semuanya pergi dari gue.” Ucapnya pelan lalu pergi meninggalkanku. Entah apa sebenarnya yang terjadi pada orang
itu, tapi tetap saja perasaanku memaksaku mencari tahu.
Bersambung..
Baca cerita lainnya atau baca kelanjutan cerita ini, klik disini.